USAHA SWASEMBADA
PANGAN PADA MASA G-30-S PKI. (1).
Pentingnya Swasembada Bahan Makanan sudah dicanangkan oleh Presiden Soekarno dalam pidatonya di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada 1952. Penggunaan ilmu dan teknologi di Kebun-kebun Percobaan selalu menghasilkan hasil panen yang lebih tinggi dari pada hasil panen petani. Walaupun setiap orang selalu terpesona akan politik dan selalu mengucapkan Revolusi, tetapi usaha pilot proyek untuk swasembada pangan tidak dilupakan. Universitas Padjadjaran mengirimkan mahasiswa-mahasiswanya ke beberapa propinsi di luar Jawa dan Jawa Barat dalam rangka Bimbingan Massal Swa Sembada Bahan Makanan (BIMAS) pada tahun 1964
Permusuhan Nasa dan Kom dalam Nasakom.
Permusuhan Nasa dan Kom dalam Nasakom.
“Ibu pertiwi
mengandung tua”, demikianlah kalimat yang diucapkan oleh tokoh-tokoh Partai Komunis Indonesia pada beberapa waktu menjelang tahun 1965. Mengandung
tua artinya sebentar lagi akan melahirkan masyarakat baru yang diidam-idamkan
oleh PKI yaitu masyarakat yang “Sama
Rata Sama Rasa”. Pada masa itu Nasakom
telah diperkenalkan oleh Presiden Soekarno yang intinya bahwa komponen bangsa
Indonesia terdiri dari kaum Nasionalis, Agama dan Komunis. Bung Karno
menyarankan jangan sampai ketiga golongan dalam Nasakom itu bertengkar dan terpecah
belah.
Organisasi mahasiswa onderbouw partai mengikuti jejak
induknya menyuarakan lagu-lagu permusuhan yang senada. Dalam hal ini PKI yang paling agresif karena
konsep “Masyarakat Sama Rata Sama Rasa”
yang akan dibentuk dalam negara idamannya dan konsep “Pertentangan Kelas”-nya Karl Marx yang digunakan untuk
menyelesaikan masalah sosial, ekonomi dan budaya untuk memperoleh Masyarakat
Sama Rata Sama Rasa tersebut secara revolusi.
Partai Komunis Indonesia adalah
partai yang mempunyai anggota yang paling berdisiplin dibandingkan dengan
Partai Nasionalis Indonesia maupun Partai Masjumi dan Partai Nahdatul Ulama.
Hal ini disebabkan karena PKI menjalankan pedoman “Politik adalah Panglima”, untuk mendirikan negara Marxis tersebut
di atas sehingga kaderisasi berbasis ideologi sangat diutamakan bagi
anggota-anggota partai dan onderbouw-nya.
Pengikutsertaan anggota masyarakat agar
sealiran dengan PKI giat dilakukan melalui organisasi afiliasi
PKI meliputi seniman (Lekra), surat kabar (Harian Rakyat), mahasiswa
(Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia,CGMI), pemuda (Pemuda Rakyat), wanita
(Gerakan Wanita Indonesia, Gerwani), buruh (Serikat Oranisasi Buruh Seluruh
Indonesia, SOBSI), buruh perkebunan
(Sarbupri) dan tani (Barisan Tani Indonesia, BTI). Anggota semua onderbouw dan
anggota PKI itu mencapai 3 juta orang. Tidak heran bahwa PKI merupakan partai
komunis dengan anggota nomor 3 di dunia sesudah Republik Rakyat Tiongkok dan
Uni Soviet dan nomor satu di luar Blok Komunis.
Dengan capaian semacam itu PKI tentu saja sangat bangga dan percaya
diri.
Untuk konsolidasi anggota partai
agar anggota bersatu maka harus jelas siapa musuh mereka, maka dibuatlah konsep
akan adanya “Tujuh Setan Desa” dan “Tujuh
Setan Kota”. Tujuh Setan Desa itu adalah
tuan tanah, lintah darat, tengkulak jahat, tukang ijon, bandit desa, pemungut
zakat dan kapitalis birokrat (1).
Selain itu kaum yang bukan PKI dan
afiliasinya disebut sebagai “antek-antek imperialis”, “kaki tangan
Nekolim” (Neo Kolonialisme dan Imperialisme), “kaum reaksioner”, “kaum
sarungan”, “golongan konservatif”, “musuh revolusi”, “kontra
revolusi” selain “Setan Desa” dan “Setan Kota”.
Sedangkan golongan PKI
menyebut dirinya “progresif revolusioner”.
D.N. Aidit juga berbicara bahwa para kader harus berani, berani dan berani.
Suatu bentuk perongrongan terhadap NKRI sedang berjalan.
Sementara itu dibaca di surat kabar
bahwa jemaah sebuah masjid yang sedang
shalat Isya’ di suatu pesantren di Jawa Timur telah diserang oleh Pemuda
Rakyat. Beberapa waktu sebelumnya terbaca simpatisan komunis merobek-robek
dan menginjak Al Qur’an.
Itu di Bali, di Sumatera Utara, Peltu Sudjono yang mempertahankan tanah perkebunan dari jarahan BTI dipukul dengan kampak sehingga tewas di Kebun Bandar Betsy di Simalungun (Mei 1965).
Gambar 3:
Peltu Sudjono dikeroyok dan dibunuh massa PKI di Kebun Bandar Betsy, Simalungun, Sumatera Utara 1965.
Memang menurut teori Pertentangan
Kelas-nya Karl Marx, jalan perjuangan
kaum proletar itu adalah revolusi, maka kejadian-kejadian tersebut
adalah konsekwensi dari awal revolusi.
Pilot Projek Demonstrasi Massal Swasembada Bahan
Makanan (PP Dema SSBM).
Walaupun kondisi politik penuh dengan
ketegangan dan permusuhan, Presiden Soekarno melalui KOTOE (Komando Tertinggi
Operasi Ekonomi) tidak lupa akan program swa-sembada pangan. Bung Karno bercita-cita Indonesia dapat
memproduksi pangannya sendiri sesegera mungkin. Untuk itu pada tahun 1960 usulan
Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga agar dibangun bendungan Jatiluhur (Bendungan Juanda) di
Purwakarta yang akan dapat mengairi 240.000 hektar sawah disetujui.
Menurut hasil panen demonstrasi
penanaman padi oleh Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Lembaga Pusat Penelitian
Pertanian Departemen Pertanian pada tahun 1960 sampai 1964, hasil
percobaan-percobaan dalam keadaan pengairan yang teratur, penggarapan tanah
yang baik, penggunaan benih unggul, pemupukan dan pengendalian hama dan
penyakit padi, yaitu yang dinamakan Panca Usaha, hasil panen yang diperoleh dalam
percobaan selalu lebih besar dan menguntungkan dari pada hasil panen tanaman padi
petani secara tradisionil.
Maka melalui program itu para mahasiswa
tingkat akhir di Universitas/ Institut yang mempunyai Fakultas Pertanian di
Jawa ditugaskan untuk mengirim para mahasiswanya ke tempat yang ditentukan
untuk membimbing para petani. Pada waktu itu
belum ada Penyuluh Pertanian Lapangan.
Dalam keadaan masyarakat penuh dengan
permusuhan dan kebencian politik itu, pada bulan Nopember 1964 di Jl. Maulana
Yusuf 12 Bandung yaitu Kampus Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran para mahasiswa dibagi dalam beberapa regu dan diberi tugas untuk berangkat ke daerah-daerah di Jawa-Barat,
Sulawesi Selatan. Lombok, Kalimantan, dan Bali. Para mahasiswa Unpad bangga memakai jaket almamaternya yang berwarna merah, akan tetapi karena pada waktu itu warna merah dianggap sebagai lambang komunisme, demi keamanan mahasiswa sendiri maka jaket merah itu tidak dipakai. Angkatan '60, '61, '62, '63 dan'64 bertugas Penyuluhan Bimas.
Di kampus ini pada 1964 mahasiswi Megawati Soekarnoputri kuliah selama satu tahun. Karena situasi politik Megawati berhenti kuliah dan kembali ke Jakarta.
Di kampus ini pada 1964 mahasiswi Megawati Soekarnoputri kuliah selama satu tahun. Karena situasi politik Megawati berhenti kuliah dan kembali ke Jakarta.
Gambar 4: Jl. Maulana Yusuf 12 Bandung, kampus Fakultas Pertanian
Unpad 1965. Ditempat yang sekarang berdiri Gereja Kristen Indonesia.
Pada bulan Desember 1964 empat mahasiswa Fapertan Unpad yaitu Azisi
Raksasantana dan Yahya Suryana As’ari ditugaskan oleh Fakultas untuk berangkat
ke Desa Payangan, Gianyar, Bali. Syamsuri dan saya berangkat ke Desa Penarukan,
Kecamatan Buleleng.
Empat orang mahasiswa IPB juga diterjunkan ke Bali bagian
selatan. Kami juga dipertemukan dengan mereka oleh Dinas Pertanian Propinsi
Bali.
Kami kecewa ketika tahu bahwa sawah
tempat projek di Desa Penarukan, Buleleng ternyata telah ditanami. Ini berarti penyuluhan dan praktek tandur
jajar dan penggunaan Benih Unggul Nasional Shinta
yang dianjurkan tidak dapat dilaksanakan. Kami kawatir penggunaan padi lokal
hanya akan menambah sedikit hasil panen kalau dipupuk nanti.
Kehidupan Subak yang Demokratis dan
Terbuka, Ciri Masyarakat Bali.
Anggota Subak terdiri dari
petani-petani yang sawahnya diairi oleh saluran air tertentu. Walaupun di luar
Subak, masyarakat sangat keranjingan politik, dalam rapat Subak tidak dibenarkan
untuk membicarakan politik. Subak hanya membicarakan masalah pertanian dan
utamanya pengairan sawah.
(Gambar 5: Rapat Subak, belum selesai)
Walaupun kami kecewa setelah melihat
sawah projek telah ditanami karena kedatangan kami terlambat satu bulan, kami
juga mengerti bahwa petani mempunyai jadwal sendiri kapan untuk bertanam padi
dan tidak dapat menunggu kedatangan kami dari Bandung.
Padi yang ditanam petani adalah padi
berumur panjang Del Gamongan yang
beranak sedikit, rasa nasinya enak tetapi hasil
panen kecil. Juga jenis padi genjah atau berumur pendek Cicih Cangak. Kedua jenis padi ini
kurang responsif terhadap pemupukan. Dapat diperkirakan bahwa nanti tambahan
hasil panennya tidak akan tinggi. Jenis Unggul Nasional yang dianjurkan untuk ditanam pada waktu itu adalah Shinta. Apa boleh buat kalau hasilnya nanti kurang memuaskan.
Pilot Projek Demas SSBM Mendapat Tandingan.
Tanpa sepengetahuan kami, ternyata Barisan
Tani Indonesia (BTI), organisasi bawahan PKI di Sangsit, di sebelah
timur tidak berapa jauh dari Desa Penarukan membuat petak percontohan dengan
menanam jenis padi baru. BTI mempunyai konsep yang berbeda dengan Lembaga Pusat
Penelitian Pertanian dalam teknik bercocok tanam padi. Slogan mereka adalah Cangkul Dalam, Tanam Rapat. Pengurus BTI mengundang kami untuk meninjau petaknya.
Kami akui petak percontohan seluas 0,2 hektar itu rapih dan bagus. Tanamannya tinggi, bulirnya
pendek-pendek, tanamannya rapat. Pengurus BTI menyatakan bahwa pada waktu panen
nanti hasilnya minimum 8 ton padi kering per hektar. Pengurus memprediksi bahwa
hasil di Yeh Taluh paling tinggi 3 ton per hektar. Kami juga memperkirakan
bahwa hasil petani Yeh Taluh rata-rata hanya bisa mencapai 3,5 ton per hektar karena yang ditanam hanya padi jenis Unggul Daerah
yang tidak responsif terhadap pemupukan dan bukannya Unggul Nasional.
Kedua projek ini seolah menjadi perlombaan percontohan bagi petani
setempat bahwa projek 0,2 hektar di Sangsit adalah projek PKI dan 50 hektar di Penarukan/
Yeh Taluh adalah projek pemerintah. Petani ingin tahu mana yang lebih jago
pemerintah atau BTI/ PKI dalam menanam padi. Kami kawatir bahwa per satuan luas
yang sama hasil panen di Yeh Taluh akan kalah. Petani tidak mau tahu bahwa
jenis padi yang ditanam di Subak Yeh Taluh bukan yang dianjurkan pemerintah.
Pemuda Rakyat dari kampung sebelah yang
memanggil kami menanyakan maksud dan tujuan proyek yang kami laksanakan dan
mengatakan bahwa proyek itu adalah Proyek Nekolim.
Dua minggu kemudian datang seorang
petani yang memberitahukan bahwa petak percontohan BTI di Sangsit hancur
diserang tikus. Kami menduga serangan tikus disebabkan karena tanamannya
terlalu padat. Serangan tikus terjadi juga dibeberapa tempat di Yeh Taluh
tetapi dapat diabaikan karena para petani secara bersama-sama telah melakukan
pengendalian tikus dengan umpan beracun zink fosfida.
(Gambar 6:
Karung-karung bangkai tikus di pohon, belum selesai)
Beberapa minggu kemudian ketika banyak
sawah yang akan dipanen, diluar Subak Yeh Taluh pendukung PNI dan pendukung PKI
berombongan beramai-ramai memanen sawah mereka sambil bernyanyi dan berorasi di
sawah atau di atas truk. Para anggota PKI menyanyikan lagu “Genjer-genjer” atau
“Ape Karne Bumine Keliwat Gerit” (Apa sebab dunia ini gawat) sebagai ungkapan
dunia gawat karena ada “Tujuh Setan Desa”
(Gambar 7: Truk membawa orang-orang akan panen, belum selesai)
Pembunuhan sebagai Puncak Kebencian dan Makar. Pada
minggu ke tiga bulan Agustus 1965
setelah panen yang selamat dari serangan tikus tetapi dengan penambahan hasil
hanya sekira 10%, kami berpamitan dengan anggota dan Ketua Subak Yeh Taluh, Kepala
Dinas Pertanian Buleleng dan Kepala Dinas Pertanian Prop Bali di Den Pasar Ir.
Sukatja dan bertemu dengan empat orang mahasiswa IPB yang juga telah selesai
menjalankan tugasnya di Bali bagian selatan. Kemudian kami pulang ke Bandung.
Lima minggu di Bandung, pada 28 September 1965 saya melihat siaran TVRI
hitam-putih dalam Konggres II CGMI di
Istora Senayan, dihadapan D. N. Aidit dan Bung Karno, dengan gegap gempita
diteriakkan: “Bubarkan HMI”, “HMI antek Nekolim”. Para anggota
CGMI yang berkonggres berteriak-teriak seakan paduan suara yang gegap gempita.
D.N. Aidit menambahkan: “Kalau CGMI tidak mampu membubarkan HMI, pakai BH
saja”.
Hari berikutnya tanggal 29 September di banyak tembok-tembok di
kota Bandung, terbaca grafiti perlawanan terhadap apa yang telah terjadi di Istora
Senayan malam sebelumnya, di antaranya di tembok-tembok di Jl. Malabar dan
beberapa tempat lainnya terbaca grafiti “Langkahi Mayatku Sebelum
Membubarkan HMI”.
Kemudian sesudah itu tanggal 30 September ada berita bahwa enam orang
jenderal dan satu orang perwira telah diculik dan dibantai di Lubang Buaya. Mereka
adalah Jend. Ahmad Yani, Mayjen. D. I. Panjaitan, Letjen M.T. Haryono, Kapt
CZI. Pierre Tendean, Letjen. Siswono Parman, Letjen. Soeprapto, dan Mayjen Sutoyo
Siswomiharjo (2).
Lettu Doel Arif Komandan
Resimen Cakrabirawa membunuh enam Jenderal
TNI AD tersebut. Pelda Djahurub, prajurit Resimen Cakrabirawa bergabung dengan
pasukan Doel Arif menyerang dan berusaha membunuh Jenderal A. H. Nasution,
tetapi Jenderal Nasuion lolos (3).
Para jenderal dibantai karena dianggap
sebagai anggota Dewan Jenderal
selain Angkatan Darat tidak setuju akan usulan PKI kepada Presiden Soekarno
agar kaum tani dipersenjatai sebagai Angkatan Kelima dengan alasan untuk melawan Malaysia. Pada patung tersebut digambarkan
seorang petani yang gagah membawa senjata sedang ditawari makan oleh Ibu Tani.
Pada 1 Oktober pagi itu di RRI PKI mengumumkan terbentuknya Dewan
Revolusi yang diketuai oleh Letkol Untung. Melalui pengumuman itu rakyat diminta
agar membentuk Dewan Revolusi dari
tingkat Desa, Kecamatan, Kabupaten dan seterusnya. Hari itu RRI telah dikuasai
oleh Gerakan 30 September PKI.
Pada sore harinya tanggal 1 Oktober 1965 kota Jakarta dikuasai
kembali oleh Pasukan ABRI (4). Letkol. Untung dari Pasukan
Cakrabirawa melarikan diri.
Tanggal 5 Oktober pada peringatan Hari Angkatan Bersenjata, diminta agar
para pemimpin-pemimpin Islam hadir di Alun-alun Bandung. Kalau tidak salah tidak ada peringatan pada
tahun itu. Para ulama Islam mencurigai maksud yang tersembunyi dan tidak datang ke Alun-alun Bandung.
Tanggal 11 Oktober Letkol Untung tertangkap di Tegal setelah terpergok dua
anggota ABRI yang sama-sama naik bis. Letkol. Untung melarikan diri dari bis
dikejar rakyat dan dua ABRI tersebut, lalu diserahkan kepada Kapt CPM Moh Isa,
Komandan CPM di Tegal. (5).
Tanggal 13 Oktober dalam situasi politik dan keamanan yang kritis, Fakultas Pertanian Unpad mengirimkan satu regu mahasiswa untuk berangkat ke Lampung. Di perjalanan terbaca beberapa kali tulisan besar pada dinding-dinding "Bubarkan PKI!". Mereka yang ditugaskan ke Lampung itu di antaranya adalah
mahasiswa Sakam Mihardja, Aos M. Akyas, Soemarto Oteng, Mochamad Solichin, Amir
Hamzah dan saya. Tiga lainnya saya tidak ingat. Teman kerja seproyek adalah mahasiswa dari Akademi
Pertanian Ciawi.
Pada waktu mereka keluar dari Bandung, orang tua yang
sangat kawatir tidak tahu di mana anak-anak mereka
berada selama lima atau enam bulan karena pada masa itu belum ada handphone.
Rumah yang bertelepon juga jarang.
Singkatan:
1. Dari kasus di Bali dapat disimpulkan bahwa Panca Usaha yang
tidak lengkap, dimana varitas yang ditanam hanya Unggul Daerah, seperti telah di duga, kenaikan hasil panennya kurang memuaskan bila dibandingkan dengan kalau yang ditanam Unggul Nasional. Benih sangat penting dalam usaha menaikkan hasil panen. Walaupun unsur Panca Usaha tidak lengkap, tetapi kalau salah satu unsurnya mengenai sasaran dalam hal ini hama tikus, maka kehancuran panen dapat dihindari. Dengan penanggulangan terhadap hama tikus Yeh Taluh tidak senasib dengan proyek tandingan oleh PKI di Sangsit.
2. Jalan politik
apalagi dengan pedoman Politik Adalah Panglima, Pertentangan Kelas, Tujuh Setan Desa dan jargon-jargon
penghinaan telah mengalahkan jalan agama
dan etika bahkan kejahatan membunuh
seolah-olah jalan yang sah demi mendapatkan kekuasaan. Rakyat Indonesia
telah dipecah belah, ditakut-takuti
dengan anarki, pengeroyokan, terror penyiksaan dan pembunuhan. Pembunuhan dan penyerangan secara kekerasan tersebut tidak diproses secara hukum karena tidak ada yang berani terhadap PKI dan ormasnya. Ketenangan untuk membangun sangat terganggu.
(Episode 2: Mahasiswa Unpad Selamat dari Tragedi G-30-S/ PKI di Lampung = https://sardjono013.blogspot.com)
(2)www.kaskus.co.id/thread/...../7-jendral-korban-g30s-pki
(3)wikipedia.org/wiki/Resimen_cakrabirawa#cakrabirawa_dan_partai_komunis_indonesia.
Sardjono
Angudi
25/01/2015 diperbaiki 21/02/2023
Setelah
selesai kuliah
Azizi
Raksasantana menjadi pengusaha.
Syamsuri
menjadi penyuluh pada Dinas Pertanian
Jawa Barat.
Yahya
Suryana As’ari menyelesaikan S2 di Australia dan menjadi dosen di Fakultas
Pertanian Unpad.
Sardjono Angudi
bekerja di perusahaan swasta.