Wednesday, January 28, 2015

USAHA SWASEMBADA PANGAN PADA MASA G30S



USAHA SWASEMBADA PANGAN PADA MASA G-30-S PKI. (1).

         Pentingnya Swasembada Bahan Makanan sudah dicanangkan oleh Presiden Soekarno dalam pidatonya di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada 1952. Penggunaan ilmu dan teknologi di Kebun-kebun Percobaan selalu menghasilkan hasil panen yang lebih tinggi dari pada hasil panen petani. Walaupun setiap orang selalu terpesona akan politik dan selalu mengucapkan Revolusi, tetapi usaha pilot proyek untuk swasembada pangan tidak dilupakan. Universitas Padjadjaran mengirimkan mahasiswa-mahasiswanya ke beberapa propinsi di luar Jawa dan Jawa Barat dalam rangka Bimbingan Massal Swa Sembada Bahan Makanan (BIMAS) pada tahun 1964
 
                Permusuhan Nasa dan Kom dalam Nasakom. 
        “Ibu pertiwi mengandung tua”, demikianlah kalimat yang diucapkan oleh tokoh-tokoh Partai Komunis Indonesia pada beberapa waktu menjelang tahun 1965.                         Mengandung tua artinya sebentar lagi akan melahirkan masyarakat baru yang diidam-idamkan oleh PKI yaitu masyarakat yang  “Sama Rata  Sama Rasa”. Pada masa itu Nasakom telah diperkenalkan oleh Presiden Soekarno yang intinya bahwa komponen bangsa Indonesia terdiri dari kaum Nasionalis, Agama dan Komunis. Bung Karno menyarankan jangan sampai ketiga golongan dalam Nasakom itu bertengkar dan terpecah belah.
           Organisasi mahasiswa onderbouw partai mengikuti jejak induknya menyuarakan lagu-lagu permusuhan yang senada.  Dalam hal ini PKI yang paling agresif karena konsep “Masyarakat Sama Rata Sama Rasa” yang akan dibentuk dalam negara idamannya dan konsep “Pertentangan Kelas”-nya Karl Marx yang digunakan untuk menyelesaikan masalah sosial, ekonomi dan budaya untuk memperoleh Masyarakat Sama Rata Sama Rasa tersebut secara revolusi.
            Partai Komunis Indonesia adalah partai yang mempunyai anggota yang paling berdisiplin dibandingkan dengan Partai Nasionalis Indonesia maupun Partai Masjumi dan Partai Nahdatul Ulama. Hal ini disebabkan karena PKI menjalankan pedoman “Politik adalah Panglima”, untuk mendirikan negara Marxis tersebut di atas sehingga kaderisasi berbasis ideologi sangat diutamakan bagi anggota-anggota partai dan onderbouw-nya.  
            Pengikutsertaan anggota masyarakat agar sealiran dengan PKI giat dilakukan melalui  organisasi afiliasi PKI meliputi seniman (Lekra), surat kabar (Harian Rakyat), mahasiswa (Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia,CGMI), pemuda (Pemuda Rakyat), wanita (Gerakan Wanita Indonesia, Gerwani), buruh (Serikat Oranisasi Buruh Seluruh Indonesia, SOBSI),  buruh perkebunan (Sarbupri) dan tani (Barisan Tani Indonesia, BTI). Anggota semua onderbouw dan anggota PKI itu mencapai 3 juta orang. Tidak heran bahwa PKI merupakan partai komunis dengan anggota nomor 3 di dunia sesudah Republik Rakyat Tiongkok dan Uni Soviet dan nomor satu di luar Blok Komunis.
            Dengan capaian semacam itu PKI tentu saja sangat bangga dan percaya diri.
            Untuk konsolidasi anggota partai agar anggota bersatu maka harus jelas siapa musuh mereka, maka dibuatlah konsep akan adanya  Tujuh Setan Desa”  dan “Tujuh Setan Kota”.  Tujuh Setan Desa itu adalah tuan tanah, lintah darat, tengkulak jahat, tukang ijon, bandit desa, pemungut zakat dan kapitalis birokrat (1)
            Selain itu kaum yang bukan PKI dan afiliasinya disebut sebagai “antek-antek imperialis”, “kaki tangan Nekolim” (Neo Kolonialisme dan Imperialisme), “kaum reaksioner”, “kaum sarungan”, “golongan konservatif”, “musuh revolusi”, “kontra revolusi” selain “Setan Desa” dan “Setan Kota”. 
            Sedangkan golongan PKI menyebut dirinya “progresif  revolusioner”. D.N. Aidit juga berbicara bahwa para kader harus berani, berani dan berani.
            Suatu bentuk perongrongan terhadap NKRI sedang berjalan. 
            Sementara itu dibaca di surat kabar bahwa  jemaah sebuah masjid yang sedang shalat Isya’ di suatu pesantren di Jawa Timur telah diserang oleh Pemuda Rakyat. Beberapa waktu sebelumnya terbaca simpatisan komunis merobek-robek dan menginjak Al Qur’an.





Gambar 1: Jemaah shalat Isya' diserang Pemuda Rakyat di Jawa Timur 1965.
(grafis S. Angudi)












Gambar 2: "Banteng PNI" dibunuh Pemuda Rakyat di Buleleng, Bali, 1965.

           


              Itu di Bali, di Sumatera Utara, Peltu Sudjono yang mempertahankan tanah perkebunan dari jarahan BTI dipukul dengan kampak sehingga tewas di Kebun Bandar Betsy di Simalungun (Mei 1965).




Gambar 3: Peltu Sudjono dikeroyok dan dibunuh massa PKI di Kebun Bandar Betsy, Simalungun, Sumatera Utara 1965.  
     
 
 
            Memang menurut teori  Pertentangan Kelas-nya  Karl Marx, jalan perjuangan kaum proletar itu adalah revolusi, maka kejadian-kejadian tersebut adalah konsekwensi dari awal revolusi.

           Pilot Projek Demonstrasi Massal Swasembada Bahan Makanan (PP Dema SSBM).
            Walaupun kondisi politik penuh dengan ketegangan dan permusuhan, Presiden Soekarno melalui KOTOE (Komando Tertinggi Operasi Ekonomi) tidak lupa akan program swa-sembada pangan.  Bung Karno bercita-cita Indonesia dapat memproduksi pangannya sendiri sesegera mungkin. Untuk itu pada tahun 1960 usulan Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga agar dibangun  bendungan Jatiluhur (Bendungan Juanda) di Purwakarta yang akan dapat mengairi 240.000 hektar sawah disetujui. 
           Menurut hasil panen demonstrasi penanaman padi oleh Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Lembaga Pusat Penelitian Pertanian Departemen Pertanian pada tahun 1960 sampai 1964, hasil percobaan-percobaan dalam keadaan pengairan yang teratur, penggarapan tanah yang baik, penggunaan benih unggul, pemupukan dan pengendalian hama dan penyakit padi, yaitu yang dinamakan Panca Usaha, hasil panen yang diperoleh dalam percobaan selalu lebih besar dan menguntungkan dari pada hasil panen tanaman padi petani secara tradisionil.
         Maka melalui program itu para mahasiswa tingkat akhir di Universitas/ Institut yang mempunyai Fakultas Pertanian di Jawa ditugaskan untuk mengirim para mahasiswanya ke tempat yang ditentukan untuk membimbing para petani. Pada waktu itu  belum ada Penyuluh Pertanian Lapangan.
       Dalam keadaan masyarakat penuh dengan permusuhan dan kebencian politik itu, pada bulan Nopember 1964 di Jl. Maulana Yusuf 12 Bandung yaitu Kampus Fakultas Pertanian  Universitas Padjadjaran  para mahasiswa dibagi dalam beberapa regu dan diberi tugas untuk berangkat ke daerah-daerah di Jawa-Barat, Sulawesi Selatan. Lombok, Kalimantan,  dan Bali. Para mahasiswa Unpad  bangga memakai jaket almamaternya yang berwarna merah, akan tetapi karena pada waktu itu warna merah dianggap sebagai lambang komunisme,  demi keamanan mahasiswa sendiri maka jaket merah itu tidak dipakai. Angkatan '60, '61, '62, '63 dan'64 bertugas Penyuluhan Bimas.
       Di kampus ini pada 1964 mahasiswi Megawati Soekarnoputri kuliah selama satu tahun. Karena situasi politik Megawati berhenti kuliah dan kembali ke Jakarta.
 
Gambar 4: Jl. Maulana Yusuf 12 Bandung, kampus Fakultas Pertanian Unpad 1965. Ditempat yang sekarang berdiri Gereja Kristen Indonesia.





           Pada bulan Desember 1964 empat mahasiswa  Fapertan Unpad yaitu Azisi Raksasantana dan Yahya Suryana As’ari ditugaskan oleh Fakultas untuk berangkat ke Desa Payangan, Gianyar, Bali. Syamsuri dan saya berangkat ke Desa Penarukan, Kecamatan Buleleng. 
        Empat orang mahasiswa IPB juga diterjunkan ke Bali bagian selatan. Kami juga dipertemukan dengan mereka oleh Dinas Pertanian Propinsi Bali.
        Kami kecewa ketika tahu bahwa sawah tempat projek  di Desa Penarukan, Buleleng ternyata telah ditanami.  Ini berarti penyuluhan dan praktek tandur jajar dan penggunaan Benih Unggul Nasional Shinta yang dianjurkan tidak dapat dilaksanakan. Kami kawatir penggunaan padi lokal hanya akan menambah sedikit hasil panen kalau dipupuk nanti.
 
           Kehidupan Subak yang Demokratis dan Terbuka, Ciri Masyarakat Bali. 
            Anggota Subak terdiri dari petani-petani yang sawahnya diairi oleh saluran air tertentu. Walaupun di luar Subak, masyarakat sangat keranjingan politik, dalam rapat Subak tidak dibenarkan untuk membicarakan politik. Subak hanya membicarakan masalah pertanian dan utamanya pengairan sawah. 
(Gambar 5: Rapat Subak, belum selesai)
           Walaupun kami kecewa setelah melihat sawah projek telah ditanami karena  kedatangan kami terlambat satu bulan, kami juga mengerti bahwa petani mempunyai jadwal sendiri kapan untuk bertanam padi dan tidak dapat menunggu kedatangan kami dari Bandung.
           Padi yang ditanam petani adalah padi berumur panjang Del Gamongan yang beranak sedikit, rasa nasinya enak tetapi hasil  panen kecil. Juga jenis padi genjah atau berumur pendek Cicih Cangak. Kedua jenis padi ini kurang responsif terhadap pemupukan. Dapat diperkirakan bahwa nanti tambahan hasil panennya tidak akan tinggi. Jenis Unggul Nasional  yang dianjurkan untuk ditanam pada waktu itu adalah Shinta. Apa boleh buat kalau hasilnya nanti kurang memuaskan.

            Pilot Projek Demas SSBM Mendapat Tandingan. 
            Tanpa sepengetahuan kami, ternyata Barisan  Tani Indonesia (BTI), organisasi bawahan PKI di Sangsit, di sebelah timur tidak berapa jauh dari Desa Penarukan membuat petak percontohan dengan menanam jenis padi baru. BTI mempunyai konsep yang berbeda dengan Lembaga Pusat Penelitian Pertanian dalam teknik bercocok tanam padi. Slogan mereka adalah Cangkul Dalam, Tanam Rapat. Pengurus  BTI mengundang kami untuk meninjau petaknya. Kami akui petak percontohan seluas 0,2 hektar  itu rapih dan bagus. Tanamannya tinggi, bulirnya pendek-pendek, tanamannya rapat. Pengurus BTI menyatakan bahwa pada waktu panen nanti hasilnya minimum 8 ton padi kering per hektar. Pengurus memprediksi bahwa hasil di Yeh Taluh paling tinggi 3 ton per hektar. Kami juga memperkirakan bahwa hasil petani Yeh Taluh rata-rata hanya bisa mencapai  3,5 ton per hektar  karena yang ditanam hanya padi jenis Unggul Daerah yang tidak responsif terhadap pemupukan dan bukannya Unggul Nasional.
           Kedua projek ini seolah  menjadi perlombaan percontohan bagi petani setempat bahwa projek 0,2 hektar di Sangsit adalah projek PKI dan 50 hektar di Penarukan/ Yeh Taluh adalah projek pemerintah. Petani ingin tahu mana yang lebih jago pemerintah atau BTI/ PKI dalam menanam padi. Kami kawatir bahwa per satuan luas yang sama hasil panen di Yeh Taluh akan kalah. Petani tidak mau tahu bahwa jenis padi yang ditanam di Subak Yeh Taluh bukan yang dianjurkan pemerintah.           
           Pemuda Rakyat dari kampung sebelah yang memanggil kami menanyakan maksud dan tujuan proyek yang kami laksanakan dan mengatakan bahwa proyek itu adalah Proyek Nekolim.
            Dua minggu kemudian datang seorang petani yang memberitahukan bahwa petak percontohan BTI di Sangsit hancur diserang tikus. Kami menduga serangan tikus disebabkan karena tanamannya terlalu padat. Serangan tikus terjadi juga dibeberapa tempat di Yeh Taluh tetapi dapat diabaikan karena para petani secara bersama-sama telah melakukan pengendalian tikus dengan umpan beracun zink fosfida. 
(Gambar 6: Karung-karung bangkai tikus di pohon, belum selesai)
Beberapa minggu kemudian ketika banyak sawah yang akan dipanen, diluar Subak Yeh Taluh pendukung PNI dan pendukung PKI berombongan beramai-ramai memanen sawah mereka sambil bernyanyi dan berorasi di sawah atau di atas truk. Para anggota PKI menyanyikan lagu “Genjer-genjer” atau “Ape Karne Bumine Keliwat Gerit” (Apa sebab dunia ini gawat) sebagai ungkapan dunia gawat karena ada “Tujuh Setan Desa”  
(Gambar 7: Truk membawa orang-orang akan panen, belum selesai)
            Pembunuhan sebagai Puncak Kebencian dan Makar. Pada minggu ke tiga bulan Agustus 1965 setelah panen yang selamat dari serangan tikus tetapi dengan penambahan hasil hanya sekira 10%, kami berpamitan dengan anggota dan Ketua Subak Yeh Taluh, Kepala Dinas Pertanian Buleleng dan Kepala Dinas Pertanian Prop Bali di Den Pasar Ir. Sukatja dan bertemu dengan empat orang mahasiswa IPB yang juga telah selesai menjalankan tugasnya di Bali bagian selatan.  Kemudian kami pulang ke Bandung.     
            Lima minggu di Bandung, pada 28 September 1965 saya melihat siaran TVRI hitam-putih  dalam Konggres II CGMI di Istora Senayan, dihadapan D. N. Aidit dan Bung Karno, dengan gegap gempita diteriakkan: “Bubarkan HMI”, “HMI antek Nekolim”. Para anggota CGMI yang berkonggres berteriak-teriak seakan paduan suara yang gegap gempita. D.N. Aidit menambahkan: “Kalau CGMI tidak mampu membubarkan HMI, pakai BH saja”.
            Hari berikutnya tanggal 29 September di banyak tembok-tembok di kota Bandung, terbaca grafiti perlawanan terhadap apa yang telah terjadi di Istora Senayan malam sebelumnya, di antaranya di tembok-tembok di Jl. Malabar dan beberapa tempat lainnya terbaca grafiti “Langkahi Mayatku Sebelum Membubarkan HMI”.
           Kemudian sesudah itu tanggal 30 September ada berita bahwa enam orang jenderal dan satu orang perwira telah diculik dan dibantai di Lubang Buaya. Mereka adalah Jend. Ahmad Yani, Mayjen. D. I. Panjaitan, Letjen M.T. Haryono, Kapt CZI. Pierre Tendean, Letjen. Siswono Parman, Letjen. Soeprapto, dan Mayjen Sutoyo Siswomiharjo (2).

 
            Lettu Doel Arif Komandan Resimen  Cakrabirawa membunuh enam Jenderal TNI AD tersebut. Pelda Djahurub, prajurit Resimen Cakrabirawa bergabung dengan pasukan Doel Arif menyerang dan berusaha membunuh Jenderal A. H. Nasution, tetapi Jenderal Nasuion lolos (3).  
           Para jenderal dibantai karena dianggap sebagai anggota Dewan Jenderal selain Angkatan Darat tidak setuju akan usulan PKI kepada Presiden Soekarno agar kaum tani  dipersenjatai  sebagai Angkatan Kelima dengan alasan untuk melawan Malaysia. Pada patung tersebut digambarkan seorang petani yang gagah membawa senjata sedang ditawari makan oleh Ibu Tani.
           Pada 1 Oktober pagi itu di RRI PKI mengumumkan  terbentuknya  Dewan Revolusi yang diketuai oleh Letkol Untung. Melalui pengumuman itu rakyat diminta agar  membentuk Dewan Revolusi dari tingkat Desa, Kecamatan, Kabupaten dan seterusnya. Hari itu RRI telah dikuasai oleh Gerakan 30 September PKI.
             Pada sore harinya tanggal 1 Oktober 1965 kota Jakarta dikuasai kembali oleh Pasukan ABRI (4). Letkol. Untung dari Pasukan Cakrabirawa melarikan diri.
           Tanggal 5 Oktober pada peringatan Hari Angkatan Bersenjata, diminta agar para pemimpin-pemimpin Islam hadir di Alun-alun Bandung.  Kalau tidak salah tidak ada peringatan pada tahun itu. Para ulama Islam mencurigai maksud yang tersembunyi dan tidak datang ke Alun-alun Bandung.
           Tanggal 11 Oktober Letkol Untung tertangkap di Tegal setelah terpergok dua anggota ABRI yang sama-sama naik bis. Letkol. Untung melarikan diri dari bis dikejar rakyat dan dua ABRI tersebut, lalu diserahkan kepada Kapt CPM Moh Isa, Komandan CPM di Tegal. (5).
           Tanggal 13 Oktober dalam situasi politik dan keamanan  yang kritis, Fakultas Pertanian Unpad mengirimkan satu regu  mahasiswa untuk berangkat ke Lampung. Di perjalanan terbaca beberapa kali tulisan besar pada dinding-dinding "Bubarkan PKI!". Mereka yang ditugaskan ke Lampung itu di antaranya adalah mahasiswa Sakam Mihardja, Aos M. Akyas, Soemarto Oteng, Mochamad Solichin, Amir Hamzah dan saya. Tiga lainnya saya tidak ingat. Teman kerja seproyek  adalah mahasiswa dari Akademi Pertanian Ciawi.
            Pada waktu mereka keluar dari Bandung, orang tua yang sangat kawatir  tidak tahu di mana anak-anak mereka berada selama lima atau enam bulan karena pada masa itu belum ada handphone. Rumah yang bertelepon juga jarang.
            Singkatan:
1.  Dari kasus di Bali dapat disimpulkan bahwa Panca Usaha yang tidak lengkap, dimana varitas yang ditanam hanya Unggul Daerah, seperti telah di duga, kenaikan hasil panennya kurang memuaskan bila dibandingkan dengan kalau yang ditanam Unggul Nasional. Benih sangat penting dalam usaha menaikkan hasil panen. Walaupun unsur Panca Usaha tidak lengkap, tetapi kalau salah satu unsurnya mengenai sasaran dalam hal ini hama tikus, maka kehancuran panen dapat dihindari. Dengan penanggulangan terhadap hama tikus Yeh Taluh tidak senasib dengan   proyek tandingan oleh PKI di Sangsit.
2.  Jalan politik apalagi dengan pedoman Politik Adalah Panglima, Pertentangan Kelas, Tujuh Setan Desa dan jargon-jargon penghinaan  telah mengalahkan jalan agama dan etika bahkan kejahatan  membunuh seolah-olah jalan yang sah demi mendapatkan kekuasaan. Rakyat Indonesia telah  dipecah belah, ditakut-takuti dengan anarki, pengeroyokan, terror penyiksaan dan pembunuhan. Pembunuhan dan penyerangan secara kekerasan tersebut tidak diproses secara hukum karena  tidak ada yang berani terhadap PKI dan ormasnya. Ketenangan untuk membangun sangat terganggu.
 
 
(Episode 2: Mahasiswa Unpad Selamat dari Tragedi  G-30-S/ PKI di Lampung = https://sardjono013.blogspot.com)
(2)www.kaskus.co.id/thread/...../7-jendral-korban-g30s-pki        
(3)wikipedia.org/wiki/Resimen_cakrabirawa#cakrabirawa_dan_partai_komunis_indonesia.

Sardjono Angudi

25/01/2015 diperbaiki 21/02/2023

Setelah selesai kuliah
Azizi Raksasantana menjadi pengusaha.
Syamsuri menjadi  penyuluh pada Dinas Pertanian Jawa Barat.
Yahya Suryana As’ari menyelesaikan S2 di Australia dan menjadi dosen di Fakultas Pertanian Unpad.
Sardjono Angudi bekerja di perusahaan swasta.